Mencuatnya masalah sampah di perkotaan seringkali mengundang para peneliti, lembaga kemasyarakatan bahkan pengusaha menawarkan berbagai teknologi guna ikut mengatasinya. Berbagai kelebihan dari tiap metoda yang ditawarkan tentu saja menjadi pekerjaan para pengelola kota dan pemerintah mengkajinya, memilih yang paling sesuai dengan kondisi sosio ekonomi daerah dimana masalah sampah berada. Namun, yang paling pasti, diantara banyak teknologi seperti tenaga listrik berbahan sampah (PLTSa), teknologi pembakaran (insinerator), hingga pemanfaatan gas methana bagi pembangkitan turbin tenaga listrik, metoda paling populer di pertanian - yakni pengomposan -ketika ditawarkan bagi perkotaan menjadi dianggap kuno, tidak modern, rumit dan bercitra agraris ( ndeso).
Persepsi negatif atau kurang mendukung dari banyak pihak pada teknologi pengomposan (composting) dapat dimengerti, ketika dipersepsikan semua pengomposan adalah metoda bedeng terbuka ( open windrows method). Metoda bedeng terbuka- yang kendati populer di pertanian dan pedesaan dalam membuat kompos ini, manakala hendak dibawa ke kota -yang tentu saja memiliki kondisi sosial, lingkungan dan kultur berbeda dengan pertanian. Jika tanpa perbaikan teknis teknologis, pastilah memang bukan solusi tepat. Pada tiap satuan ton sampah, memerlukan luasan lahan bedeng setidaknya 3 x 8 m= 24 m2, dikali lama proses dekomposisi sampah organik 30 hingga 45 hari. Dapat dihitung, sekurangnya membutuhkan 1000 m2 - termasuk sarana pemilahan (sortir) dan penyimpanan input-output. Maka, alat mesin tercanggih yang diperlukan bagi metoda bedeng ( open windrows) ini seolah menjadi murah, hanya mesin pencacah ( chopper, counting) bagi keperluan pengecilan ukuran material ( menjadi 2-5 cm). Padahal, pengadaan mesin pencacah sesungguhnya baru menyiapkan 1 langkah ( tahap awal) dari 8 aspek mengelola proses penguraian (dekomposisi), selain pengecilan ukuran. Mengatur kelembaban, mengatur suhu pada range tertentu, menjaga kadar air, mengatur ukuran atau ketebalan tumpukan ( pile) bagi kepentingan porositas dan menelola besaran intensitas aerasi serta keberadaan bakteri pengurai yang cukup guna mengimbangi keberadaan mikroba patogen dari bahan sampah. Karenanya jangan heran, jika kemudian, banyak instalasi pengolahan sampah di berbagai kota menjadi terbengkalai, karena yang terjadi tidak lebih dari memindahkan metoda di pertanian ke perkotaan.
Metoda bedeng terbuka (open windrows) harus diakui bukan solusi yang tepat bagi tujuan pengolahan sampah di perkotaan, utamanya bagi pengolahan dalam satuan kecil tersebar di berbagai sumber sampah berada dan timbul, yang umumnya mendekati tempat manusia berada. Kebutuhan lahan bedeng yang luas di dekat pemukiman akan menimbulkan biaya investasi mahal, belum lagi keluaran polutan bau dari sampah yang ditumpuk dalam bedeng juga menimbulkan penolakan (resistensi) masyarakat sekitar. Dengan waktu proses hingga 2 bulan juga akan menaikan biaya tenaga kerja - yang tidak mudah diperoleh di perkotaan serta, meresapnya cairan lindi ke tanah juga akan menimbulkan cemaran ke sumur penduduk dan sungai yang jangka tertentu akan menjadi masalah bagi masyarakat sekitar. Pendek kata, metoda yang sukses di pedesaan dan pertanian, belumlah menjadi jaminan sama suksesnya bila dilaksanakan di perkotaan.
Kembali mengacu pada arti pengomposan, dalam literatur disebutkan sebagai proses dimana bahan organik mengalami penguraian secara biologis, khususnya oleh mikroba-mikroba yang memanfaatkan bahan organik sebagai sumber energi. Dan, membuat kompos adalah mengatur dan mengontrol proses alami tersebut agar kompos dapat terbentuk lebih cepat. Proses ini meliputi membuat campuran bahan yang seimbang, pemberian air yang cukup, mengaturan aerasi, dan penambahan aktivator pengomposan. Maka itu, dengan pemahaman akan pengomposan bagi kepentigan di kota seyogyanya megharuskan kita menggunakan mekanisasi penuh.
Dengan mekanisasi penuh, bedeng terbuka dapat digantikan dengan alat mesin Rotary Kiln. Alat ini membatu pembalikan material menjadi praktis, serta pengelolaan kelembaban dan suhu juga dapat terkontrol karena material berada dalam tabung ( Kiln). Dengan mekanisasi, pada tahap penguraian (dekomposisi) setelah pengecilan ukuran dengan pencacah, penambahan intensitas aerasi dan porositas juga semudah memutar pedal exhaust fan. Inilah kunci bagi pengomposan modern yang menjamin bakteri pengurai bekerja tanpa henti ( dorman) - yang menjamin penguraian terus berlangsung dalam kondisi aerobik. Untuk diketahui, bau busuk dalam olah sampah, sesungguhnya ditimbulkan oleh proses penguaraian material organik tatkala kekurangan oksigen ( anaerobik). Pada kondisi an aerobik, material organik yang diurai bakteri, akan menghasilkan H2S dan CH4 ( methana). Kedua gas itulah yang dipersepsikan sebagi bau sampah.
Dengan mekanisasi penuh, bedeng terbuka dapat digantikan dengan alat mesin Rotary Kiln. Alat ini membatu pembalikan material menjadi praktis, serta pengelolaan kelembaban dan suhu juga dapat terkontrol karena material berada dalam tabung ( Kiln). Dengan mekanisasi, pada tahap penguraian (dekomposisi) setelah pengecilan ukuran dengan pencacah, penambahan intensitas aerasi dan porositas juga semudah memutar pedal exhaust fan. Inilah kunci bagi pengomposan modern yang menjamin bakteri pengurai bekerja tanpa henti ( dorman) - yang menjamin penguraian terus berlangsung dalam kondisi aerobik. Untuk diketahui, bau busuk dalam olah sampah, sesungguhnya ditimbulkan oleh proses penguaraian material organik tatkala kekurangan oksigen ( anaerobik). Pada kondisi an aerobik, material organik yang diurai bakteri, akan menghasilkan H2S dan CH4 ( methana). Kedua gas itulah yang dipersepsikan sebagi bau sampah.
Peranan mekanisasi penuh pada pengomposan, antaranya dengan penambahan alat fermentasi ( Rotary Kiln), telah memberi banyak keuntungan bagi pembuatan kompos dalam kepentingan pengolahan sampah di kota. Keperluan luasan lahan jauh menyusut, dari pengalaman dalam pengolahan sampah target 1 ton ( 3 m3)/ hari secara kontinyu, diperlukan 100 m2. Luasan ini jauh kecil dibanding dengan metoda bedeng pada kapasitas 1 ton/ hari yang sama tadi, hingga 1000 m2. Demikian juga kebutuhan tenaga kerja, cukup 1 orang operator mengerjakan pembalikan, pengelolaan suhu, pengelolaan kelembaban. Dan, dengan waktu penguraian cepat, hanya 5 hari dibanding metoda bedeng terbuka, akan memberikan keuntungan juga pada perputaran modal kerja.
Memang benar, mekanisasi penuh dengan penggunaan Rotary Kiln pada pengomposan akan membutuhkan tambahan investasi mesin namun, dibanding dengan bedeng terbuka pun, masih bisa dianalisa kalau metoda Rotary Kiln memberi kelayakan secara ekonomi. Bahkan, output berupa pupuk padat dan pupuk cair- yag asalnya sebagai lindi- kini menjadi material baru bernilai ekonomi. Kelayakan sosial juga meningkat, memberi manfaat kepada warga sekitar serta dengan mekanisasi penuh bebas dari timbulan bau busuk serta cairan lindi, kelayakan lingkungan juga terpenuhi. Mekanisasi penuh, berupa penambahan mesin rotary kiln, dalam pengomposan skala suatu instalasi mampu melayani ribuan penduduk, diharapkan lahir di berbagai lokasi kawasan komersial ( perumahan, apartemen, mall, restoran, hotel, pabrik dan kawasan industri) serta kawasan sosial dan menunjang bagi upaya mengembalikan bahan organik ke pertanian. Dengan merobah sampah organik, disajikan dalam bentuk pupuk organik kompos, akan memiliki keberterimaan di kalangan petani. Instalasi pengolahan sampah, dengan mekanisasi penuh berada di sekitar sumber sampah perkotaan timbul, akan berguna dalam turut membangun model pengelolaan sampah kota yang mendukung pada terwujudnya pertanian secara berkelanjutan*)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar