Masalah sampah kota seringkali ingin diselesaikan cara mudah dengan membakarnya. Tanpa disadari, polutan yang timbul dari plastik dan bahan organik terbakar beresiko bagi menurunnya derajat kesehatan penduduk.
Konsep penanganan sampah - yang dikenal dengan 3 R ( Reuse, Reduce, Recycle) menjadi rumit manakala budaya masyarakat tidak siap memilah sampah berdasar jenis organik, an-organik logam- plastik- kaca. Upaya memasyaratkan pengomposan organik terkendala dengan bercampurnya aneka jenis sampah.
Jalan keluar dengan dibakar insinerator menjadi pilihan. Namun menurut pakar lingkungan tungku pembakaran dibawah 1000 derajat celcius tetap beresiko menghasilkan dioxin yang berbahaya bagi lingkungan. Maka jalan teraman, penanganan sampah secara berjenjang dan terdesentralisasi dimulai di level rumah - dengan memilah, kemudian menyediakan kontainer berdasar jenis, mendaur ulang jenis plastik- kertas- logam serta sisanya berupa sampah un-degradable dan sampah klinis dikelola di TPA.
Namun mengingat karakteristik sampah di Indonesia berbeda dengan sampah di negara-negara maju, yakni komposisi organik justru lebih besar hingga 70 % dibanding sampah di Singapura- yang misalnya hanya 6 %, maka proses dekomposisi sampah mutlak diperlukan.
Pengomposan sampah menjadi bahan organik kaya nutrisi bagi tanaman telah dipraktekan di banyak keluarga di Eropa. Mereka menggunakan komposter di halaman, menjadikan sampah kebun dan dapur sebagai bahan pengomposan- yang kemudian amat berguna dalam kegiatan pertamanan. Kini, cara itu dikenalkan di Indonesia dalam komposter sebagai media dekomposisi dan memanfaatkan konsorsium mikroba-bakteri dan jamur sebagai aktivator proses dekomposisi tersebut.
Maka, menggunakan komposter di rumah-rumah Indonesia menjadi amat relevan jika mengingat keperluan akan pupuk organik bagi penyuburan kebun pekarangan, menambah penghasilan keluarga dengan menghemat belanja akan bahan dapur serta sekaligus mengurangi beban TPA- yang makin bermasalah di banyak Kota di tanah air.
Kehadiran alat mesin dan teknologi bagi pembuatan pupuk organik diharapkan ikut mengatasi masalah sampah dan limbah di perkotaan. Diketahui, sampah telah memberi sumbangan besar pada persoalan sanitasi dan derajat kesehatan masyarakat seiring dengan meningkatnya sampah yang dihasilkan penduduk. Jika tahun 2000 mencapai 1 kg sampah per orang per hari, kini diperkirakan, jumlahnya meningkat menjadi 2, 1 kg per orang per hari pada tahun 2020. Kementerian Lingkungan Hidup ( KLH) 1995 mencatat rata-rata produksi sampah masyarakat Indonesia per orang, yaitu 800 gram per hari. Artinya, dengan 220 juta jumlah penduduk, diperkirakan jumlah timbunan sampah nasional mencapai 176.000 ton per hari.
Sementara itu, apabila dihitung secara kasar, sampah yang dihasilkan di Jakarta setiap harinya mencapai 8 juta kg. Jumlah tersebut didapat berdasarkan hasil perkalian antara jumlah penduduk yang tinggal di Jakarta ( 8 juta jiwa) dan jumlah sampah yang dihasilkan setiap harinya ( 1kg/ orang/ hari) .
Jika setiap 1 ton sampah padat menghasilkan 50 kilogram gas methane ( CH4) , bisa diketahui jumlah sumbangan sampah untuk pemanasan global sebesar 8.800 ton CH4 per hari. Meskipun konsentrasi CO2 lebih tinggi, namun ilmuwan memprediksi kekuatan CH4 memiliki kekuatan 20 kali lipat lebih besar dibandingkan CO2. Selain itu, ternyata sampah juga menjadi salah satu faktor peningkatan jumlah emisi gas rumah kaca di atmosfer, selain kegiatan manusia lainnya yang berhubungan dengan energi, kehutanan, pertanian dan peternakan.
Sementara itu, apabila dihitung secara kasar, sampah yang dihasilkan di Jakarta setiap harinya mencapai 8 juta kg. Jumlah tersebut didapat berdasarkan hasil perkalian antara jumlah penduduk yang tinggal di Jakarta ( 8 juta jiwa) dan jumlah sampah yang dihasilkan setiap harinya ( 1kg/ orang/ hari) .
Jika setiap 1 ton sampah padat menghasilkan 50 kilogram gas methane ( CH4) , bisa diketahui jumlah sumbangan sampah untuk pemanasan global sebesar 8.800 ton CH4 per hari. Meskipun konsentrasi CO2 lebih tinggi, namun ilmuwan memprediksi kekuatan CH4 memiliki kekuatan 20 kali lipat lebih besar dibandingkan CO2. Selain itu, ternyata sampah juga menjadi salah satu faktor peningkatan jumlah emisi gas rumah kaca di atmosfer, selain kegiatan manusia lainnya yang berhubungan dengan energi, kehutanan, pertanian dan peternakan.
Masyarakat dalam mengelola sampah masih menggunakan pendekatan Kumpul, Angkut dan Buang ke TPA (Tempat Pemrosesan Akhir). Padahal sampah dengan volume besar terutama dari sampah organik berpotensi menimbulkan gas metan (CH4) yang dapat meningkatkan emisi GRK (gas rumah kaca) yang memberikan kontribusi pemanasan global. Saat ini diperlukan paradigma baru penanganan sampah dengan cara pengelolaan sampah dengan kegiatan pengurangan dan penanganan sampah. Pengurangan sampah melalui kegiatan pembatasan, penggunaan kembali, dan daur ulang.
BalasHapus