16.12.10

Diperlukan Desain Kota Tanpa TPA

Komposisi sampah di Indonesia, merujuk pada data statistik rata-rata 74 % berupa sampah organik dan sisanya berupa kain, logam, plastik, styrofoam, dan aneka sisa kemasan, atas inisiatif swadaya atau karena tuntutan ekonomi, telah memberi peluang pada pelaku usaha daur ulang (recycle) dan produsen produk guna ulang (reuse). 

Di berbagai pelosok kota akan ditemukan kelompok masyarakat mendaur ulang sisa material kemasan kopi instan, permen, pasta gigi, menjadi tas tangan, sandal dan barang baru lainnya yang bisa bernilai ekonomi dan laku dijual. Atau, terdapat juga komunitas yang mengolah sampah organik menjadikannya kompos, dan banyak diantaranya yang lebih modern menggunakan  mesin rotary kiln dan lebih lanjut menggunakan komposnya sebagai media tumbuh jamur kompos ( jamur kancing, jamur tiram dan champignon). 

Demikian juga plastik (polyethylen), telah lebih dulu dikelola pengrajin dan usahawan kecil menjadi butiran plastik, dijual ke pabrik daur ulang perkakas, bahkan ada juga yang telah di ekspor, menjadi bahan baku dalam proses pembuatan aneka peralatan berbasis plastik. Sementara di Bandung dan Bogor, misalnya, terdapat juga komunitas mengelola sisa afkir kain pabrik tekstil, atau perca, dibuat aneka kain baru serta aneka boneka. Bahkan, lebih maju lagi, kini, mesin cuci bekas dibuat produk komposter elektrik. Atau, tong HDPE, limbah pabrik bekas penggunaan kemasan kimia impor, dibuat komposter pengolah sampah organik menjadi kompos skala rumahan. Dan, diluar itu, masih banyak sekali yang memanfaatkan limbah pembuatan tahu-tempe sebagai pakan ternak, serta aneka limbah logam menjadi hasil kerajinan yang bernilai ekonomi, maupun menggunakan sampah organik  limbah restoran dan pasar sayur, sebagai pakan ternak sapi, lembu dan kerbau. Kondisi sosial ekonomi, tingkatan keterampilan, penguasaan ilmu pengetahuan dan kearifan lokal suatu komunitas telah melahirkan berbagai kreatifitas yang luar biasa, merobah sampah (recycle) menjadi bentuk baru dan, memberi pendapatan ekonomi.

Praktek daur ulang (recycle) dan penggunaan ulang (reuse) telah sedemikian rupa berkembang, kendati tanpa pembayaran jasa pengelolaan sampah, sebagaimana mekanisme kerjasama dengan badan usaha melalui pembayaran tipping fee dari pemerintah, seperti dilakukan banyak kota di dunia. 

 Keperluan adanya tipping fee karena, pengelolaan sampah, secara baik dan benar, membutuhkan biaya. Besaran biaya kelola sampah akan makin mahal seiring dengan standar, yang dipersyaratkan para pemangku kepentingan (stakeholder) persampahan. Penumpukan sampah di TPA (open dumping), seperti yang kini banyak dijalankan di TPA di Indonesia, adalah ber biaya paling murah. Ketika masyarakat dan pemerintah menetapkan persyaratan lebih tinggi, misalnya teknik sanitary landfill, besaran tippping fee akan makin mahal. Tuntutan persyaratan dan standar lingkungan yang terus meningkat, meminta pengelola sampah melakukannya secara lebih profesional, serta dengan, sarana dan prasarana berteknologi tentunya. Karenanya, pemerintah sebagai pemilik kewenangan atas pengelolaan sampah, sering tidak memiliki kapasitas untuk melakukannya dan, kemudian, menyerahkannya kepada pihak ketiga, rekanan, umumnya badan usaha. 

Dengan investasi tertentu, badan usaha mendapat kontrak jasa pengelolaan sampah dari pemerintah, dan bertanggungjawab menjalankan pekerjaan sesuai dengan kewajiban, rambu dan tujuan yang tercantum dalam kontrak. Mekanisme kerjasama pemerintah dengan badan usaha, seperti layaknya banyak pekerjaan pengadan barang/jasa lainnya ( seperti pengadaan jasa konsultan, jasa kebersihan, dan sejenisnya), dilakukan melalui pelelangan ( tender), misalnya, dengan merujuk pada Perpres 54/ 2010. Dan atas pelaksanaan pekerjaan itu, rekanan mendapat pembayaran sesuai volume pengelolaan sampah yang diperjanjikannya dalam tiap satuan  jumlah dan waktu tertentu. Namun, karena pengelolaan sampah itu dikatagori kepada pekerjaan jangka waktu panjang dan terus menerus (multy years), di banyak pemerintah kota lalu, kemudian, menetapkannya dalam satuan tipping fee.

Tipping fee adalah biaya yang dikeluarkan anggaran pemerintah kepada pengelola sampah, berdasarkan jumlah per ton atau satuan volume (m3). Di beberapa negara, dengan standar lingkungan yang tinggi, tipping fee rata-rata per ton US$ 50 sampai US$100, sementara di Indonesia, seperti halnya DKI Jakarta, membayar tipping fee ke pengelola sampah di Bantargebang Bekasi, US 10/ton atau setara dengan Rp 105.000/ ton. Di Malaysia, biaya tipping rata-rata sekitar US $ 7.89/ton limbah pada tahun pertama, dan terdapat kenaikan progresif tahunan sebesar 3% menjadi sekitar US $ 13,84 di tahun ke-20. Biaya itu hanya sebatas kompensasi atas jasa pengelolaan sampah di lokasi tertentu yang ditetapkan, tidak termasuk biaya pengumpulan (collecting), pemungutan retribusi kebersihan dan sampah dari masyarakat dan pengangkutan yang tetap dilaksanakan pemerintah suatu kota, sebagai pelaksana layanan publik ( public services).

Menjadikan masalah sampah sebagai sumber ekonomi baru kini sangat mungkin dijalankan suatu kota di Indonesia. Pemerintahan daerah/ kota menyerahkan sebagian kewenangannya, dalam hal pengelolaan sampah, melalui mekanisme kerjasama dengan badan usaha. 

Penetapan tipping fee, dengan orientasi pemberian pekerjaan dan kesempatan berusaha kepada masyarakat serta, membuka seluas-luasnya bagi berkembangnya berbagai jenis teknologi dan skala usaha, adalah strategi penumbuhan ekonomi baru, sekaligus pengelolaan sampah tanpa TPA. Model kota demikian, seperti kini dilakukan ( eco town) Kyushu di Jepang, maupun kota tanpa TPA yang sedang dibangun di Dongtan, Pulau Chongming, dekat sungai Yangtze, Shanghai, China. 

Pilihan kebijakan pengelolaan sampah, melalui mekanisme kerjasama dengan banyak pelaku usaha daur ulang (recycle) dan guna ulang (reuse) dari berbagai komunitas di masyarakat, akan merupakan langkah cerdas dalam menumbuhkan ekonomi daerah sekaligus menyelesaikan masalah sampah. Dan, sebenarnya, payung hukum nya pun untuk dilaksanakan di Indonesia, sudah tercantum dalam pasal 6 tentang kewajiban dan kewenangan pemerintah, ayat f, UU No 18/ 2008, “ .. kewajiban pemerintah daerah adalah memfasilitasi penerapan teknologi spesifik lokal yang berkembang pada masyarakat setempat untuk mengurangi dan menangani sampah...”


Pilihan metoda dan teknologi yang akan dijadikan rambu bagi setiap kota, selain karena persyaratan undang-undang, tentunya mempertimbangkan pula jenis dan karakter material yang akan dikelolanya. Penggunaan metoda pembakaran (incenerator), yang banyak digunakan masa lalu di berbagai negara, salah satunya, karena dominasi sampah negara itu anorganik (undegradable). 

Pola produksi dan konsumsi, yang didukung oleh sistim pertanian maju dan komersial, melakukan pemilahan (sortir) bahan pangan, berupa hasil pertanian, di pusat produksi (on farm atau kebun). Semua timbulan material sisa dari pertanian dijadikan pupuk organik kompos pengiriman bahan pangan ke kota hanyalah produk siap saji,  dengan sedikit sekali menyisakan limbah di kota. 

Sementara lain di negara sedang berkembang, seperti Indonesia, umumnya bahan pangan diandalkan dari hasil pertanian skala kecil tradisional, perlakuan sortasi bahan pangan dilakukan justru di dekat pusat konsumsi (pasar induk, pasar eceran dan rumah tangga), yang menimbulkan sisa  material berupa sampah jenis organik alami (degradable). Jenis inilah, yang kemudian menjadi ssampah sebagai sumber masalah menimbulkan bau busuk, timbulnya cairan lindi (lecheate) serta tempat berbiaknya binatang, serangga dan mikroba patogen. Perbedaan komposisi sampah, antara negara maju dan sedang berkembang, akan menentukan kelayakan dalam pemilihan metoda dan teknologi. 
Sukses teknologi kelola sampah di negara maju, tidak serta merta dapat diterapkan di lokasi dengan karakter sampah berbeda.Dan, material sisa aktivitas manusia dalam suatu proses yang tidak memiliki keterpakaian, kemudian disebut sampah, juga akan berbeda dipandang komunitas di  berbagai lokasi. 

Sampah jenis organik, yang disebut sebagai pangkal masalah bagi orang di kota, dijadikan pupuk organik ( kompos, organik granul) maupun pupuk hayati, karena sesungguhnya bahan organik itu sangat berharga bagi kelangsungan pertanian, perkebunan, tempat tumbuhnya bahan pangan bagi kita semua. Maka itu, pengelolaan sampah suatu kota, dengan membuat kegunaan baru (reuse)  maupun keterpakaian baru ( recycle) tanpa adanya TPA, adalah keniscayaan, jika saja kita tidak mau tergolong kepada manusia pembuat kerusakan dan pembuatan kemubadziran di muka bumi*).    

1 komentar:

  1. Masyarakat dalam mengelola sampah masih menggunakan pendekatan Kumpul, Angkut dan Buang ke TPA (Tempat Pemrosesan Akhir). Padahal sampah dengan volume besar terutama dari sampah organik berpotensi menimbulkan gas metan (CH4) yang dapat meningkatkan emisi GRK (gas rumah kaca) yang memberikan kontribusi pemanasan global. Saat ini diperlukan paradigma baru penanganan sampah dengan cara pengelolaan sampah dengan kegiatan pengurangan dan penanganan sampah. Pengurangan sampah melalui kegiatan pembatasan, penggunaan kembali, dan daur ulang.

    BalasHapus

Merobah masalah sampah jadi berkah

Sampah sebagai material sisa aktivitas manusia seringkali menjadi penyebab timbulnya masalah manakala tidak mendapat pengelolaan secara pantas. Timbulnya bencana longsor dan ledakan metan di TPA, masalah kurangnya anggaran (APBN/D) dan dana investasi bagi pengangkutan dari sumber penghasil sampah ke Tempat Pembuangan (TPA) serta berkembangnya penyakit karena rendahnya sanitasi lingkungan adalah beberapa masalah dari sekian banyak kerugian akibat salah kelola sampah.

Web ini mendiskusikan, mengupas rencana aksi tindak ( action plan), dan berbagi pengalaman mengelola sampah secara bijaksana serta semoga menjadi ajang bagi diskusi pilihan teknologi pengelolaan sampah disesuaikan dengan tingkat budaya dan kemampuan ekonomi masyarakat.

Digester Biogas BD 7000L

Digester Biogas BD 7000L
Sampah dan berbagai bahan organik (limbah peternakan, sampah makanan, sisa masakan, tinja/ feces, limbah kebun dan industri pangan) dapat terus menerus ditambahkan ke lobang pemasukan (intake chamber), dan akan diurai oleh bakteri metanogen (anaerobic activator Green Phoskko (GP-7). Proses awal, 7 m3, hanya 7 hari telah mulai mengeluarkan gas methana (CH4) dan tersimpan di bagian atas tabung atau reaktor biogas (gas holder). Kapasitas input material 7 m3 ditambah gas holder fiberglass 3,2 m3, memiliki dimensi PLT (diameter 200 cm, tinggi 390 cm), akan bertahan hingga diatas 10 tahun bahkan hingga 20 tahun. Diproduksi secara terurai (complete knock down) untuk memudahkan pengiriman, pemindahan dan perbaikan. Harga sudah lengkap dengan instalasi pipa, valve biogas, selang gas, kompor standar pabrikan yang sudah dirubah, dan peralatan penunjang bagi pemanfaatan gas methane sebagai bahan bakar ramah lingkungan dijadikan bahan bakar kompor di rumah, industri kecil, dan kebutuhan penggerak (engine) generator set modifikasi (Biogas Genset/ BG maupun Bio elektrik).

Pemurnian Metana ( Methane Purifier) Stainless MP 12135

Pemurnian Metana ( Methane Purifier) Stainless MP 12135
Alat pemurni metan ( methane purifier) ditujukan bagi upaya menaikkan perfomance, atau efisiensi panas biogas, agar berkualitas bagi penggunaannya sebagai bahan bakar pembangkitan listrik ( generator set), pengganti bensin premium yang makin mahal dan kepentingan menjadi sumber energi menjalankan perangkat elektrik seperti lampu Biogas, Rice Cooker biogas maupun perangkat elektronik lainnya. Pemurni metan ini terbuat dari tabung logam stainless, diameter 12 inch dengan tinggi 135 cm, berisi kantong pellet penyerap (absorbers) CO2, H2Sdan H2O untuk memurnikan gas metan. Pellet penyerap terbuat dari campuran aneka mineral tambang dengan basa kuat NaOH), yang dapat diganti (refill) per 2 (dua) bulan pemakaian. Alat pemurni metan ini berkemampuan menahan tekanan gas hingga 10,5 bar, memiliki masa ekonomis lebih dari 10 (sepuluh) tahun. Pemurni metan (methane purifier) ini mampu menaikan efisiensi kalori, memperbesar manfaat dan meningkatkan kualitas biogas hasil pembangkitan biogas dari reaktor atau bak cerna (digester) dengan output 4 hingga 8 m3 gas per hari, serta mampu mengalirkan biogas bertekanan (dengan kompresor) serta menaikan komposisi metan hingga 20 %, dan bersaman dengan itu menurunkan kandungan CO2, H2O dan H2S.

Aktivator Pembangkit Biogas Green Phoskko® [ GP-7]

Aktivator Pembangkit Biogas Green Phoskko® [ GP-7]
Green Phoskko® (GP-7) Activator pembangkit gas metana (@ 250 gr/ Pack) sebagai pengurai secara fermentatif sampah dan limbah organik dalam digester kedap udara (tanpa oksigen) terbuat dari konsorsium mikroba anaerobik. Dalam lingkungan mikro yang sesuai dengan kebutuhan bakteri ini (kedap udara, material memiliki pH >6, kelembaban 60 %, dan temperatur > 30 derajat Celcius dan C/N ratio tertentu) akan mengurai atau mendekomposisi semua sampah dan bahan organik (limbah kota, pertanian, peternakan, feces tinja, kotoran hewan dan lain-lainnya) dengan cepat, hanya 5 hari. Kemasan Green Phoskko® (GP-7) dengan bentuk serbuk kering ini adalah Pack [@ 250 gr] kualitas karton duplex @ 250 gram kemudian dimasukan kedalam karton per 20 pack, total berat setara 5 kg+)

Genset Biogas BG 5000 W

Genset Biogas BG 5000 W
Generator (Genset) Bio Elektrik BG 5000 W berbahan bakar gas metan ini merupakan kelengkapan ( compatible) bagi digester type BG 7000L dalam mengolah sampah dan biomassa (aneka bahan organik) guna merobahnya menjadi energi listrik. Genset modifikasi ini menyediakan listrik dengan daya hingga 5000 watt. Pilihan penggunaan gas metan sebagai bahan bakar bagi pembangkitan tenaga listrik dari Genset Bio Elektrik, disamping secara konvensional sebagai bahan bakar menyalakan kompor juga mendukung usaha kecil UKM dan maupun perumahan dalam mendapatkan daya listrik secara murah. Penimbul sampah organik (tinja/feces, sisa masakan, sisa makanan/food waste, kotoran ternak sapi maupun ayam) serta biomassa lain ( gulma kebun, gulma air) pada rataan 3 m3/ hari akan sesuai bagi genset Bio Elektrik BG 5000 W ini.

Mesin Olah Sampah RKM-1000L

Mesin Olah Sampah RKM-1000L
Komposter Biophosko® RKM-1000L ini berdimensi PLT ( Tinggi= 190 cm, lebar = 155 cm, panjang= 290 cm) terbuat dari bahan fiber resin murni, ketebalan 3 mm, dan peralatan aerasi lainnya. Alat Mesin Rotary Kiln komposter sampah ini akan merupakan solusi tepat untuk penanganan sampah suatu komunitas -yang sebagian besar menghasilkan sampah organik

Aktivator Dekomposer Sampah

Aktivator Dekomposer Sampah
Green Phoskko® Activator Kompos (Phoskko A) [per pack, 250 gr] adalah konsorsium mikroba unggulan (bakteri aktinomycetes- spesies aktinomyces naeslundii, Lactobacillus spesies delbrueckii, Bacillus Brevis, Saccharomyces Cerevisiae, ragi, dan jamur serta Cellulolytic Bacillus Sp, bakteri aktinomycetes, ragi, dan jamur) pengurai bahan organik (limbah kota, pertanian, peternakan dan lain-lainnya). Bermanfaat untuk mempercepat proses dekomposisi sampah organik, menghilangkan bau busuk dan menekan pertumbuhan mikroba merugikan (patogen).

Pupuk Kompos Cair (PKC) Hasil Olah Sampah Organik

Pupuk Kompos Cair (PKC) Hasil Olah Sampah Organik
Pupuk Kompos Cair (PKC) Gramafert® Pupuk Kompos Cair (PKC) Gramafert adalah cairan yang dihasilkan dalam proses pengomposan ( dekomposisi ) secara aerob ( aerasi maksimal )