INILAH,
Bandung - Pemerintah Kabupaten Bandung diminta memisahkan pengelolaan
sampah antara tempat komersial dan kawasan publik. Hal itu dinilai akan
mengurangi beban pemerintah dalam pengelolaan sampah yang ternyata
tidak murah dan memerlukan keseriusan dalam penanganannya.
Aktivis lingkungan yang fokus terhadap pengelolaan sampah, Sonson Garsoni mengatakan, selama ini Pemkab Bandung belum melakukan pemisahan kewajiban pengelolaan sampah. Sehingga, semua beban pengelolaan sampah menumpuk di pemerintah.
Aktivis lingkungan yang fokus terhadap pengelolaan sampah, Sonson Garsoni mengatakan, selama ini Pemkab Bandung belum melakukan pemisahan kewajiban pengelolaan sampah. Sehingga, semua beban pengelolaan sampah menumpuk di pemerintah.
Padahal, kata dia, jika merujuk pada Undang-Undang No 18 tahun 2008 tentang
Pengelolaan Sampah, di sana disebutkan bahwa tempat komersial diwajibkan melakukan
pengelolaan sampahnya sendiri. Dengan begitu, tanggung jawab pemerintah
tersisa pada pengelolaan sampah yang berada di ruang-ruang publik dan
peemukiman warga.
"Di Kabupaten Bandung itu tempat-tempat
komersial seperti pabrik, hotel, restoran, pasar, dan permukiman elit atau real
estate belum melakukan kewajibannya dalam pengelolaan sampah. Ini tinggal
pengimplementasian UU saja, dan ditekankan dengan mengeluarkan Perda dan Surat
Edaran (SE) Bupati, agar mereka mengelola sendiri sampahnya," kata Son
Son, Kamis (23/6/2016).
Son Son mencontohkan, jika di sebuah pabrik
dengan jumlah pegawai sekitar 5.000 orang, maka per hari paling tidak akan
memproduksi sampah sekitar 1 ton. Jumlah tersebut tentu tidak sedikit, apalagi
di Kabupaten Bandung terdapat ribuan pabrik. Begitu juga dengan tempat
komersial lainnya. Seperti pusat perbelanjaan, hotel, restoran, pasar dan
permukiman elit.
"Kalau saja UU tentang pengelolaan sampah
ini diterapkan secara maksimal seperti yang dilakukan oleh Pemprov DKI Jakarta,
tentu beban pemerintah daerah akan jauh berkurang. Karena bebannya hanya
tersisa pada publik area dan permukiman saja," ujarnya.
Namun sayangnya, lanjut dia, penegakan UU
No 18 tahun 2008 belum diterapkan secara maksimal. Sehingga, beban pengelolaan
sampah tetap berada di pemerintah daerah. Padahal, biaya yang harus dikeluarkan
untuk pengelolaan sampah itu tidaklah sedikit.

Tuntaskan sampah di sumbernya
Berdasarkan hasil kajian BPPT, investasi untuk
pengelolaan sampah yang maksimal melalui pengolahan dengan pembakaran
(incenerator) kapasitas 1000 ton/ hari di TPA memerlukan biaya investasi
sekitar Rp1,3 triliun. Lalu untuk pengelolaannya, diperlukan biaya Rp400 ribu
untuk setiap ton sampah yang ditangani.
"Permasalahan sampah ini dirasakan oleh
semua daerah di Bandung Raya. Apalagi semuanya mengandalkan pembuangan ke TPA yang lokasinya jauh.
Tentu ini memerlukan biaya transportasi karena jaraknya jauh, lalu ditambah
biaya pengolahan. Ini menjadi sangat mahal dan jadi beban pemerintah
daerah," katanya.
Seharusnya, kata dia, Pemkab Bandung mengoptimalkan upaya
pengelolaan sampah dengan metode Reuse, Reduce, dan Recyle (3R). Sehingga,
sampah yang dihasilkan masyarakat habis di tempat munculnya sampah. Pada
akhirnya akan mencapai pada zero waste atau sampah yang habis 100% di tempat
munculnya.
"Tapi pengelolaan sampah dengan 3R itu harus
dilakukan secara masif dan dilakukan bersama-sama antara pemerintah dan
masyarakat. Karena yang ada sekarang dan dilakukan oleh
beberapa kelompok masyarakat itu masih sporadis dan tidak terpadu dengan
instansi terkait," katanya.
Padahal, kata Sonson, pengelolaan sampah dengan
metode 3R bisa menghemat anggaran pemerintah. Sekaligus membangun kesadaran dan
keterlibatan masyarakat dalam menjaga dan mengelola lingkungannya.
"Apalagi nanti kalau TPA Legoknangka di
Nagreg itu sudah dioperasikan, itu akan menimbulkan biaya yang tidak sedikit
untuk transportasinya karena jarak yang jauh. Belum lagi kemacetan bisa
menghambat waktu. Jadi alangkah baiknya jika pemerintah menekankan pengelolaan
sampah dengan metode 3R yang dilakukan secara masif dan sungguh-sungguh,"
ujarnya.
Berdasarkan pantauan INILAH, tumpukan sampah
dengan mudah ditemukan di beberapa titik Tempat Pembuangan Sampah (TPS) liar di
sepanjang Jalan Raya Terusan Al Fathu Soreang. Sampah berceceran di tepi jalan
itu sudah menjadi pemandangan sehari-hari bagi warga sekitar. Bahkan sesekali
terlihat pengendara motor dengan bebasnya melemparkan sampah di tempat
tersebut.
"Sebenarnya kami juga tidak mau buang sampah
di pinggir jalan, tapi karena enggak ada TPS terpaksa dibuang di pinggir jalan.
Seharusnya pemerintah juga bisa menyediakan TPS dan pengangkutan sampah dengan
jadwal yang jelas. Kalau sekarang, kita disuruh tidak buang sampah sembarangan,
tapi tempat untuk membuang yang benarnya enggak tersedia," kata Hendia
(30), salah seorang penggendara motor yang biasa membuang sampah di tepi Jalan
Raya Terusan Al Fathu Soreang. [hus], naskah asli, http://www.inilahkoran.com/berita/b...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar